PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DAN INDUSTRI KELAPA SAWIT
PENDAHULUAN
Negara-negara Asia seperti Malaysia dan
Indonesia memproduksi sebagian besar pasokan minyak sawit seluruh dunia.
Persentase global produksi minyak sawit oleh berbagai negara. Malaysia dan
Indonesia menyumbang 85% dari total minyak sawit dunia (Dey dkk, 2020). Namun,
gangguan besar pada ekosistem hutan, kerusakan rantai makanan, polusi air, dan
udara, hilangnya keanekaragaman hayati dan dampak dari deforestasi telah
membuat banyak kontroversi. Dampak sosial dan lingkungan menjadi sektor yang
penting termasuk konflik kepemilikan lahan (Moreno-Penaranda dkk, 2015).
Indonesia merupakan salah satu negara yang
mengalami ekspansi kelapa sawit terbesardan tercepat di dunia (Moreno-Penaranda
dkk, 2015). Ekspansi hutan kelapa sawit dan hutan tanaman industri telah
memainkan peran penting dalam pengelolaan penggunaan lahan intensif di seluruh
negeri selama beberapa dekade terakhir. Pengembangan hutan tanaman industri
menyebabkan banyak hutan tidak produktif dan insentif yang menarik sektor
swasta. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit lebih didorong oleh permintaan
pasar ekspor yang tinggi (Juniyati dkk, 2021).
Di seluruh dunia sekitar 3 juta petani skala kecil
dan petani kecil langsung hidup karena bisnis kelapa sawit yang memberikan
kontribusi 40% dari produksi minyak sawit dunia. Dengan cara ini, kemandirian
kecil mengelola mata pencaharian yang berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi dan berkelanjutan negara secara keseluruhan (Dey dkk, 2020). Dunia
ketergantungan sekaligus menghadapi masalah terhadap perkebunan sawit. Masalah
yang dirasakan lebih kepada masyarakat lokal yang tidak berdaya dan
termarjinalkan akibat adanya ekspansi perkebunan sawit yang masif.
RUANG
LINGKUP DAN TUJUAN
Studi ini membahas tentang problematika pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit. Pembahasan mengenai pihak-pihak yang terlibat, potensi, masalah dan inovasi kedepan terkait perkembangan komoditi kelapa sawit di Indonesia. Pendekatan dilakukan dengan literatur review dari publikasi baik dari berita-berita dan jurnal yang bereputasi.
PEMBAHASAN
Dilihat dari persebaran perusahaan perkebunan
kelapa sawit menurut pulau di Indonesia, pada tahun 2019 perusahaan perkebunan
kelapa sawit yang berada di Pulau Sumatera adalah sebanyak 55 persen, yang
berada di Pulau Kalimantan sebanyak 40 persen, dan sisanya berada di Pulau
Sulawesi, Pulau Jawa, Pulau Maluku, dan Pulau Papua.
Di Pulau Sumatera dan di Pulau Kalimantan,
perusahaan perkebunan kelapa sawit terdapat di seluruh provinsi. Perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera terkonsentrasi di Provinsi Sumatera
Utara, Riau dan Jambi dengan persentase masing-masing sebesar 29 persen, 19
persen, dan 16 persen dari seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada
di Pulau Sumatera. Sedangkan di Pulau Kalimantan, persentase perusahaan
perkebunan kelapa sawit di setiap provinsi berkisar antara 10-40 persen,
kecuali di provinsi Kalimantan Utara yang hanya 4 persen dari seluruh
perusahaan kelapa sawit di Pulau Kalimantan.Perusahaan perkebunan kelapa sawit
di Indonesia sebanyak 2.056 perusahaan, 186 perusahaan diantaranya merupakan
perkebunan besar negara dan 1.815 perusahaan merupakan perkebunan besar swasta.
Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh
perkebunan besar swasta (88%).
Berfokus pada ekspansi cepat kelapa sawit di Kalimantan, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah kekerasan dalam menghancurkan mata pencaharian dan aturan lokal yang ada. Perkebunan dianggap sebagai 'mesin', yang membawa transformasi material, sosial dan politik secara total dalam kehidupan pedesaan (Zoomer, 2018). Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat adanya perkebunan kelapa sawit adalah terkait sosial ekonomi dan lingkungan (Moreno-Penaranda dkk, 2015) seperti penguasaan lahan, konflik lahan, konflik sosial, emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Permasalahan lain yang muncul dapat berupa ketimpangan penghasilan, kesehatan, standar tenaga kerja, kepemilikan tanah, konflik sosial, kualitas dan ketersediaan air, kualitas udara, limbah padat, kesuburan tanah, dan longsoran.
Dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan dan 'tidak meninggalkan siapa pun', upaya dilakukan untuk membuat
investasi dan proyek pembangunan lebih partisipatif dan inklusif (misalnya
model bisnis inklusif dan kota inklusif), mendorong proses tata kelola lahan
dan lingkungan yang lebih partisipatif, sering kali didasarkan pada platform
multi-aktor yang terdiri dari masyarakat sipil, donor, investor, praktisi dan
peneliti (Zoomer, 2018).
Alih-alih membiarkan orang memiliki kehidupan
yang mereka hargai dan cita-citakan (pembangunan sebagai kebebasan), orang
dipaksa ke dalam jaringan terpusat, menjadi tertutup atau tersingkir, tanpa
memiliki kepentingan di masa depan mereka sendiri. Salah satu alasan utama
kekerasan infrastruktur adalah bahwa perkebunan (dan investasi tanah skala
besar lainnya) datang dari luar. Proses pembangunan yang mengikuti didorong
oleh investasi dan investor, tergantung pada peluang pasar global dalam
kombinasi dengan posisi tempat (akses jalan, jarak ke pelabuhan, dll) (Zoomer,
2018).
Investasi baru sering menciptakan gesekan
antara mereka yang akan mendapatkan keuntungan langsung dari proyek-proyek
investasi dan mereka yang akan dikeluarkan (Zoomer, 2018). Dalam konteks
diskusi tentang pembangunan inklusif, tidak cukup hanya membuat model bisnis
yang lebih inklusif. Lagi pula, pembangunan bukanlah masalah kelompok rentan
yang tergabung atau menjadi pemilik proyek yang didatangkan dari luar: orang
harus menjadi perancang rencana mereka sendiri.
Dalam kenyataannya banyak ketidakselarasan
pendapat dan miskomunikasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di sektor
kelapa sawit. Menurut Moreno-Penaranda dkk (2015) dalam penelitiannya terdapat
persepsi yang berbeda antara pemangku kepentingan yang tergabung dalam Roundtable
on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan
masyarakat lokal terkait potensi dan cara penanganan dampak yang disebabkan
kelapa sawit. Pemangku kepentingan secara optimis dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi terutama yang berlatar belakang sebagai orang
yang memiliki sertifikasi dan produsen besar. Namun, pada konsumen melihat
persepsi berbeda terkait penanganan pada dampak sosial ekonomi dan hilangnya
keanekaragaman hayati.
Hambatan
yang ditemukan adalah kurangnya komitmen dalam mengatasi permasalahan sosial
ekonomi dan regulasi yang memadai. Pada keberlanjutan komunitas lokal pemangku kepentingan RSPO
peduli dengan dampak sosial ekonomi lokal terkait peningkatan, masa kerja dan
standar tenaga kerja. Terdapat kesenjangan pengetahuan pada pemangku
kepentingan yang terlibat dan mempengaruhi manajemen pada sektor minyak kelapa
sawit ini terdapat pengintegrasian yang kurang baik sehingga kurang memahami
persepsi dari produsen kelapa sawit yang independen (diluar forum RSPO)
dan masyarakat lokal. Manajemen pada sistem RSPO dapat menjamin standar
kapasitas produksi minyak kelapa sawit di Indonesia (Moreno-Penaranda dkk,
2015).
Terlepas dari hambatan dan masalah yang terjadi, kelapa sawit memiliki potensi untuk menjadi bahan bakar alteratif. Pertumbuhan penduduk yang cepat, peningkatan tajam dalam perkembangan industri dan pembangunan ekonomi menjadialasan utama untuk menghemat energi. Untuk mempertahankan standar hidup yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, energi membuktikan dirinya sebagai kebutuhan penting dari masyarakat karena revolusi industri pada akhir abad ke 18 dan 19 (Dey dkk, 2020).
Energi dunia sangat bergantung pada bahan bakar fosil seperti bensin, solar, atau batu bara. Namun, pencemaran lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global, dan penipisan lapisan ozon karena bahan bakar fosil adalah alasan utama penurunan kualitas udara. Fakta-fakta di atas memiliki hubungan negatif yang kuat dengan krisis ekonomi dan kesehatan manusia. Setelah industri, sektor transportasi, sektor transportasi mencatatkan diri sebagai konsumen energi terbesar yang menetapkan 30% dari total penyediaan energi. Empat komponen utama untuk membuat bahan bakar alternatif lebih praktis yang layak adalah ekonomi, teknologi, kelestarian lingkungan dan dukungan kebijakan. Pentingnya isu keberlanjutan diadopsi secara luas olehberbagai negara, konsumen, dan perusahaan di seluruh dunia (Dey dkk, 2020).
Dalam beberapa kasus,bahan bakar alternatif
seperti biodiesel telah mendapatkan pilihan yang tak terhindarkan untuk
pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Pengembangan berkelanjutan
dalam produksi biodiesel tumbuh dari 0,84 miliar liter (tahun 2000) menjadi
20,2 miliar liter (tahun 2010) dan 32 miliar liter pada tahun 2014 telah
memperkuat permintaannya secara global. Menjelaskan alasan utama meningkatnya
minat pada biodiesel adalah karena sifatnya tidak beracun, terbarukan, tidak
ada kandungan belerang, pelumasan yang melekattitik nyala tinggi, dan
kontributor yang baik untuk pengurangan emisi (Dey dkk, 2020).
SIMPULAN
Kelapa sawit di Indonesia sebagian besar
berada di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Di seluruh dunia sekitar 3 juta
petani skala kecil dan petani kecil langsung hidup karena bisnis kelapa sawit
yang memberikan kontribusi 40% dari produksi minyak sawit dunia. Dengan cara
ini, petani mengelola mata pencaharian yang berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi dan berkelanjutan negara secara keseluruhan.
Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat
adanya perkebunan kelapa sawit adalah terkait sosial ekonomi dan lingkungan.
Berfokus pada ekspansi yang cepat kelapa sawit di Kalimantan, menunjukkan bahwa
perkebunan kelapa sawit adalah kekerasan dalam menghancurkan mata pencaharian
dan aturan lokal yang ada. Seharusnya, dalam upaya untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan dan 'tidak meninggalkan siapa pun', upaya dilakukan
untuk membuat investasi dan proyek pembangunan lebih partisipatif dan inklusif.
Kelapa sawit juga memiliki potensi Terlepas dari
hambatan dan masalah yang terjadi, kelapa
sawit memiliki potensi untuk menjadi bahan bakar alteratif. Energi dunia
sangat bergantung pada bahan bakar fosil seperti bensin, solar, atau batu bara.
Empat komponen utama untuk membuat bahan bakar alternatif lebih praktis yang
layak adalah ekonomi, teknologi, kelestarian lingkungan dan dukungan kebijakan.
Dalam beberapa kasus,bahan bakar alternatif
seperti biodiesel yang berasal dari kelapa sawit telah mendapatkan pilihan yang
tak terhindarkan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.
Pengembangan berkelanjutan dalam produksi biodiesel terus dilakukan.
Menjelaskan alasan utama meningkatnya minat pada biodiesel adalah karena
sifatnya tidak beracun, terbarukan, tidak ada kandungan belerang, pelumasan
yang melekattitik nyala tinggi, dan kontributor yang baik untuk pengurangan
emisi.
Problematika pengembangan perkebunan dan
perindustrian kelapa sawit selalu terjadi. Disisi lain, sektor ini memiliki
manfaat yang besar untuk pendapatan nasional dan memenuhi kebutuhan dunia.
Namun permasalahan yang terjadi di lapangan membuat adanya pro dan kontra yang
sulit menemukan solusi. Adanya inovasi kelapa sawit menjadi energi alternatif
merupakan tantangan besar karena ketersediaan energi fosil yang tidak dapat
diperbaharui, namun sulit untuk menerima bahwa kita harus bergantung pada
kelapa sawit saat ini.
REFERENSI
Badan
Pusat Statistik. (2021). Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2019.
Jakarta Pusat: Badan Pusat Statistik.
Dey,
S., Reang, N., M. Das, P. K., Deb, M. (2020). A Comprehensive Study on
Prospects of Economy, Environment, and Efficiency of Palm Oil Biodiesel as a
Renewable Fuel. Journal of Cleaner Production. Vol 286(2021), Hal 1-26.
Haryati,
Z., Subramaniam, V., Noor, Z. Z., Hashim, Z. (2021). Social Life Cycle
Assessment of Crude Palm Oil Production in Malaysia. Sustainable Production
and Compsumtion. Vol 29(2022) Hal 90-99.
Moreno-Penaranda,
R., Gasparatos, A., Stromberg, P., Suwa, A., Pandyaswargo A. H., Puppim de
Oliveira, P. (2015). Sustainable Production And Consumption ff Palm Oil in
Indonesia: What Can Stakeholder Perceptions Offer to The Debate?. Sustainable
Production and Consumption. Vol 4(2015) Hal 16-35.
Zoomers,
A. (2018). Plantations Are Everywhere! Between Infrastructural Violence And
Inclusive Development. Geoforum. Vol 96(2018), Hal 341-344.
Komentar
Posting Komentar