DESA-KOTA DAN UNSUR INFORMALITAS
Globalisasi sangat memengaruhi kehidupan sosial, baik pada skala lokal maupun nasional. Pembangunan kota-kota di seluruh dunia turut terpengaruh oleh fenomena tersebut. Salah satu dampaknya adalah munculnya pembangunan kota yang bersifat tidak seimbang (imbalanced), terutama pada kota-kota megapolitan. Kota idealnya harus mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakatnya. Namun, dalam perkembangannya, kota-kota yang mengandalkan sektor industri sering kali menghadapi krisis lingkungan, kesenjangan sosial, serta lemahnya koordinasi antar lembaga (Marcotullio, 2001).
Keseimbangan antara struktur ruang pedesaan dan perkotaan menjadi aspek penting dalam pembangunan yang berkelanjutan, dengan menitikberatkan pada manusia dan interaksi di dalamnya (Barbara et al., 2012). Interaksi desa–kota memiliki daya tarik tersendiri dalam menciptakan peluang ekonomi, yang pada akhirnya memicu transformasi fisik, sosial, dan ekonomi akibat fenomena modernisasi serta industrialisasi (Sheykhi, 2016). Oleh karena itu, penerapan prinsip balanced development menjadi penting untuk mengatasi berbagai persoalan perkotaan. Salah satu fokus utamanya adalah pengembangan wilayah yang memperhatikan keterkaitan antara desa dan kota (rural–urban linkage).
Namun, konsep transisi dan transformasi perkotaan tidak selalu sama di setiap kota. Keragaman tersebut menciptakan variasi dalam fungsi kota, kondisi lingkungan, serta perubahan penggunaan lahan pertanian. Pengembangan desa–kota bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, serta kualitas hidup, sekaligus menjawab isu-isu lingkungan dari skala lokal hingga nasional yang didukung oleh globalisasi dan kemajuan teknologi (Marcotullio, 2001). Pembangunan ini dilakukan melalui kegiatan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa (Singru, 2015).
Cairns mengemukakan gagasan mengenai pengembangan kawasan desa–kota di Indonesia dengan konsep “kota tropis,” yaitu kota yang mendukung kemandirian melalui produksi pangan lokal dan penyediaan fasilitas yang berkelanjutan. Dalam proses perkembangan perkotaan, muncul pula unsur informalitas, baik dalam bentuk kegiatan ekonomi informal seperti pedagang kaki lima dan parkir liar, maupun permukiman informal.
Tangerang
Salah satu contoh nyata perkembangan desa–kota dapat dilihat di Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Kawasan ini menunjukkan transformasi signifikan dengan berkembangnya fasilitas umum seperti pasar, sarana pendidikan, kesehatan, dan keagamaan yang dapat dijangkau dalam radius 500 meter. Selain itu, terdapat pula fasilitas berskala kota seperti rumah sakit, tempat rekreasi, dan lapangan olahraga dalam radius 1 kilometer (Hadi et al., 2021).
Teluknaga didominasi oleh kawasan perumahan berbasis kampung yang telah dihuni setidaknya oleh tiga generasi. Namun, masyarakat di wilayah ini umumnya belum memiliki hak kepemilikan lahan yang kuat, dan banyak bangunan bersifat semipermanen. Permukiman kampung tersebut tumbuh secara alami tanpa perencanaan yang baik (Hadi et al., 2021). Meski demikian, secara bertahap Teluknaga memperlihatkan perkembangan menuju kehidupan perkotaan yang lebih kompak.
Perkembangan desa–kota di Teluknaga banyak dipengaruhi oleh unsur informalitas, yang mencerminkan dinamika kehidupan sehari-hari (rasionalitas) dan menjadi bagian dari proses transformasi wilayah peri-urban. Dalam konteks pengembangan kawasan desa–kota, unsur informalitas yang kerap tersembunyi dan kurang dihargai perlu dipahami secara mendalam. Selain itu, pengembangan sektor pendidikan dan pembangunan infrastruktur menjadi faktor penting dalam mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta terwujudnya konsep rural–urban development yang berkelanjutan.
Pontianak dan sekitarnya
Fenomena serupa juga terjadi di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan di wilayah barat Pulau Kalimantan. Pertumbuhan wilayah ini menunjukkan keterkaitan yang kuat dengan daerah sekitarnya, khususnya Kabupaten Kubu Raya. Secara fungsional, hubungan antara Pontianak dan Kubu Raya mencerminkan karakteristik kawasan rural–urban continuum, di mana batas antara wilayah kota dan desa menjadi semakin kabur. Kawasan seperti Kecamatan Sungai Raya, Rasau Jaya, dan Batu Ampar di Kubu Raya telah berkembang menjadi wilayah peri-urban yang mendukung aktivitas ekonomi Pontianak, baik dalam bentuk perumahan baru, kawasan perdagangan, maupun pusat jasa dan logistik.
Interaksi spasial antara Pontianak dan Kubu Raya memperlihatkan ketergantungan dua arah. Kota Pontianak bergantung pada wilayah Kubu Raya dalam penyediaan ruang untuk ekspansi pembangunan dan sumber daya, sementara masyarakat di Kubu Raya memanfaatkan kedekatan dengan kota untuk akses pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas perkotaan. Namun, perkembangan cepat di wilayah pinggiran ini juga menimbulkan tantangan baru seperti konversi lahan pertanian, meningkatnya kawasan permukiman informal, dan tekanan terhadap daya dukung lingkungan.
Selain itu, wilayah utara Pontianak seperti Siantan juga memperlihatkan gejala serupa, di mana kawasan permukiman padat tumbuh secara spontan dengan tingkat informalitas yang tinggi. Kondisi ini menegaskan bahwa proses pembangunan di Pontianak tidak dapat dilepaskan dari dinamika regionalnya bersama Kubu Raya dan sekitarnya. Oleh karena itu, penerapan konsep balanced rural–urban development menjadi sangat relevan untuk wilayah metropolitan Pontianak. Penguatan konektivitas, pengendalian tata guna lahan, serta peningkatan infrastruktur dasar perlu diarahkan untuk menciptakan pertumbuhan yang berimbang antara pusat kota dan kawasan peri-urban, sekaligus menjaga keberlanjutan sosial dan ekologis wilayah tersebut.
Referensi
Barbara, E., Tanja, P., & Jan, N. (2012). Balance Rural and Urban Structures. World Academy of Science, Engineering and Technology International Journal of Humanity and Social Sciences, 6(11), 2778–2784.
Hadi, C., & Ellisa, E. (2021). Peri-Urban and Informality in Teluknaga, Tangerang Regency, Indonesia. CSID Journal of Infrastructure Development, 4(1), 50–62.
Marcotullio, P. J. (2001). Asian Urban Sustainability in The Era of Globalization. Habitat International, 25, 577–598.
Sheykhi, M. T. (2016). Rural-Urban Balance as a Measure of Socio-Economic Development with Special Reference to Iran. Journal of Social Economic Research, 3(11), 1–12.
Singru, R. N. (2015). Regional Balanced Urbanization for Inclusive Cities Development: Urban-Rural Poverty Linkages in Secondary Cities Development in Southeast Asia. Asian Development Bank, 11, 1–28.

Komentar
Posting Komentar