Pancing dan Kopi

Pelan-pelan terasa; pancing dan kopi adalah satu kesatuan tradisi yang sulit dipisahkan. Kota ini hidup berdampingan dengan air yang mengalir panjang, menyediakan ruang bagi orang untuk menunggu dan diam. Ya, Pontianak. Budaya ngopi di sini bukan sekadar duduk di warung dan bercengkrama dengan kawan. Ia juga dinikmati di waktu-waktu kosong, dalam kesendirian, di sudut-sudut kota sambil menajur joran. Kopi dan Pancing.

Ada kebiasaan yang sudah lama dan pelan-pelan terbentuk, membuat budaya kopi begitu masif di kota khatulistiwa ini. Dalam praktik memancing, kopi seperti menjadi bagian dari ritmenya: joran dilempar, air sungai diamati, waktu diperlambat, lalu kopi menemani penantian. Sampai-sampai mancing terasa belum utuh tanpa kopi. Padahal, Pontianak tidak dikenal sebagai daerah dengan kebun kopi luas, seperti di pulau-pulau lain.

Perpaduan pancing dan kopi mungkin juga respons atas kacaunya isi kepala. Ada saat-saat ketika pikiran terlalu penuh, lalu tubuh memilih pergi memancing, dan tangan otomatis menuang kopi. Bukan untuk menyelesaikan apa pun, hanya untuk menunggu. Dalam keheningan itu, di sela air yang bergerak pelan dan kopi yang menghangat, sering kali saya justru menemukan arah, kadang untuk diri sendiri, kadang untuk memahami orang lain, kadang sekadar menerima bahwa negara ini memang sedang tidak baik-baik saja.

Pancing dan kopi. Mudah-mudahan keduanya tetap lestari dan harmonis. Ruangnya selalu ada dan terjaga, memberi tempat bagi orang seperti saya untuk berhenti sejenak, mengurai isi kepala, dan juga ruang mengisi kembali celah-celah kota yang katanya ramah untuk semua dan menyediakan segalanya.

^^


Catatan Reflektif: Ruang, Ekologi, dan Keberlanjutan Kearifan Kota

Pancing dan kopi, dalam tulisan ini, tidak dimaksudkan semata sebagai tradisi atau kebiasaan warga kota. Ia adalah bentuk refleksi, sekaligus respons, atas ruang yang tersedia dan ekologi yang masih memungkinkan praktik itu berlangsung. Budaya tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh karena ada bentang alam, struktur kota, dan relasi manusia lingkungan yang saling menopang. Dalam hal Pontianak, keberadaan aliran air yang panjang, tepian yang relatif terbuka, dan ritme kota yang masih memberi ruang untuk menunggu, menjadi fondasi ekologis dari hadirnya praktik pancing dan kopi.

Dari perspektif perencanaan wilayah dan kota, praktik ini dapat dibaca sebagai indikator bahwa ruang kota masih menyediakan jeda. Ada ruang yang tidak sepenuhnya dikomodifikasi, tidak seluruhnya dipadatkan oleh fungsi ekonomi, dan masih bisa diakses secara informal oleh warga. Pancing dan kopi hadir sebagai bentuk penggunaan ruang yang sederhana, rendah energi, dan nyaris tanpa jejak—namun sarat makna sosial dan psikologis. Ia menunjukkan bahwa kualitas kota tidak hanya diukur dari infrastruktur besar, tetapi juga dari kemampuannya menyediakan ruang kecil bagi refleksi dan ketenangan.

Namun, praktik ini sekaligus rapuh. Ketika kualitas lingkungan menurun, ketika air tercemar, ketika tepian sungai dipagari, ditimbun, atau dialihfungsikan secara eksklusif, maka yang hilang bukan hanya ruang fisik, tetapi juga praktik budaya yang melekat padanya. Budaya pancing dan kopi akan sulit bertahan jika ekologi ruangnya rusak. Dalam konteks ini, hilangnya ruang berarti hilangnya cara warga berelasi dengan kota, cara yang pelan, sabar, dan tidak tergesa.

Melestarikan budaya pancing dan kopi, karena itu, harus dibaca sebagai bagian dari upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan ruang kota. Ini bukan soal nostalgia, melainkan soal keberlanjutan kearifan lokal. Kearifan kota air seperti Pontianak tidak selalu hadir dalam simbol besar atau festival, tetapi justru dalam praktik sehari-hari yang tampak sepele: orang memancing di tepian, menyeruput kopi, dan memberi waktu bagi dirinya sendiri. Ketika praktik-praktik ini hilang, yang lenyap bukan hanya tradisi, tetapi juga pengetahuan lokal tentang bagaimana hidup berdampingan dengan air.

Dalam kerangka perencanaan, hal ini menuntut cara pandang yang lebih sensitif terhadap relasi manusia dan lingkungan. Sungai dan tepian air tidak semestinya diperlakukan hanya sebagai elemen teknis atau aset ekonomi, tetapi sebagai ruang hidup yang menopang kebudayaan. Menjaga kualitas air, memastikan akses publik ke tepian, dan merawat ruang-ruang informal adalah bagian dari menjaga identitas kota. Perencanaan yang mengabaikan aspek ini berisiko menghasilkan kota yang fungsional, tetapi miskin makna.

Dengan demikian, pancing dan kopi dapat dibaca sebagai penanda halus dari kesehatan ruang kota. Selama keduanya masih mungkin dilakukan dengan wajar dan aman, selama ruangnya masih tersedia dan ekologinya terjaga, selama itu pula kearifan lokal Pontianak sebagai kota air masih hidup. Ketika ruang-ruang tersebut hilang, kota mungkin tetap tumbuh secara fisik, tetapi kehilangan salah satu cara paling sunyi dan jujur warganya dalam merawat kewarasan, identitas, dan relasi dengan lingkungannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer