SERDAM - Di Antara Spanduk Pro-Rakyat dan Tata Ruang
Ada satu kalimat yang terasa jujur dari berita ini: “Kami tidak menolak. Kami tanya, bagaimana teknisnya?”
Kalimat itu sederhana, tetapi menyimpan persoalan besar dalam tata ruang kita."..gajahmada siap-siap lewat dengan adenye serdam kedepan"
Diolah dari percakapan di whatsapp dengan kak Tiwi
Dalam banyak kasus penataan kota, pihak yang mempertanyakan kebijakan, termasuk perusahaan pemilik lahan sering diposisikan seolah-olah menolak. Padahal yang terjadi justru sebaliknya: mereka mencoba memahami. Mereka bertanya. Mereka ingin tahu bagaimana ruang yang selama ini dimiliki dan dikelola akan dipergunakan, diatur, atau dialihfungsikan, serta apa implikasi teknis dan risikonya. Masalahnya, pertanyaan itu sering tidak pernah benar-benar dijawab secara teknis.
Di sinilah tata ruang kerap gagal berkomunikasi.
Sebagai disiplin, perencanaan wilayah dan kota seharusnya bekerja dengan basis informed decision. Artinya, setiap perubahan ruang semestinya disertai penjelasan: apa dasarnya, bagaimana dampaknya, siapa yang terdampak lebih dulu, dan apa alternatifnya. Namun dalam praktik, yang sering muncul justru pendekatan normatif-represif: aturan diturunkan, zona ditetapkan, lalu para pihak diminta patuh. Ketika muncul pertanyaan atau keberatan teknis, ia dilabeli sebagai ketidaktaatan terhadap aturan.
Padahal, bertanya bukanlah perlawanan.
Fenomena ini memperlihatkan masalah klasik tata ruang Indonesia: kebijakan ruang terlalu sering bekerja dengan logika threshold value cukup memenuhi ambang batas administrasi tanpa diiringi pembacaan sosial yang memadai. Kajian ada, dokumen ada, tetapi relasi spasial-sosialnya terputus. Ruang diperlakukan sebagai bidang teknis, bukan ruang hidup yang memiliki aktor, relasi, dan konsekuensi jangka panjang.
Yang menarik, sektor informal dan UMKM justru sering menjadi kelompok yang paling terdampak dari ketidakjelasan ini. Ketika ruang ditata ulang tanpa penjelasan teknis yang matang, merekalah yang paling cepat merasakan efeknya digeser, dibatasi, atau “ditertibkan”. Ironisnya, sektor inilah yang kerap dijadikan simbol utama dalam narasi populis penataan kota, tanpa benar-benar dilibatkan dalam perencanaan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, penataan kawasan apa pun namanya, pusat kuliner, kawasan tematik, atau revitalisasi tidak bisa berhenti pada slogan dan niat baik. Pertanyaan teknis yang diajukan para pihak seharusnya dibaca sebagai sinyal penting: ada jarak antara perencana dan yang direncanakan. Ketika jarak itu tidak dijembatani, kebijakan berisiko berubah menjadi alat kontrol spasial, bukan instrumen kesejahteraan.
Kota yang sehat bukan kota yang bebas konflik, tetapi kota yang memberi ruang bertanya. Ketika para aktor kota masih mau bertanya “bagaimana teknisnya?”, itu artinya mereka belum menyerah pada kota. Mereka ingin terlibat. Dan di situlah seharusnya perencanaan hadir bukan untuk membungkam, tetapi untuk menjelaskan.
Karena pada akhirnya, tata ruang bukan soal siapa paling patuh pada aturan, melainkan siapa paling paham ruang yang sedang diubah.

Komentar
Posting Komentar